Minggu, 15 Maret 2015



* PENGERTIAN SENI KERAMIK

Seni Keramik adalah cabang seni rupa yang mengolah material keramik untuk membuat karya seni dari yang bersifat tradisional sampai kontemporer. Selain itu dibedakan pula kegiatan kriya keramik berdasarkan prinsip fungsionalitas dan produksinya.

* SEJARAH KERAMIK
  

Keramik diperkirakan sudah tua umurnya, sebagaimana halnya sejarah keramik diberbagai belahan Dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya pengaruh hubungan kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik dapat dikatakan seMua manusia semenjak mengenal api dan dapat memanfaatkannya.

 Penemuan teknik membuat keramik atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif pada zaman Pra-sejarah. Mayer menyatakan bahwa kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969). Awal mulanya keramik dibuat cenderung sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan wadah tersebut berasal  dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti  labu, kelapa dan sebagainya, yang isinya dikeluarkan. Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun pisang daun talas dan lainnya. Adanya cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah basah yang digenangi air hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang tanah pelapis masih tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang. Dari pengalaman-pengalaman itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah keperluan sehari-hari dan untuk keperluan religi lainnya. 
Dengan diketemukan tanah yang mengeras ini, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan  unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara sengaja, yaitu menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang bertekstur / bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar. Nelson, menulis bahwa suatu kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman (Nelson, 1960). Dengan demikian , jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan sekaligus sebagai benda estetis.
Sejarah perkembangan keramik secara diakronis, merupakan rangkaian peristiwa pembuatan dan penggunaan produk keramik yang berlangsung secara berkesinambungan sejak dahulu kala hingga kini. Namun dalam uraian ini tidak akan membeberkan panjang lebar secara kronologis dan detail tentang keramik. Hal ini mengingat kemampuan dana dan keterbatasan referensi mengenai kepastian sejarah keramik.
Manusia di planet bumi, sebenarnya telah lama mampu membuat dan menggunakan produk-produk yang terbuat dari tanah liat, sejenis gerabah kasar. Dapat dikatakan bahwa penggunaan produk-produk keramik sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Namun mengenai keberadaan atau kepastian penggunaan keramik pertama kali, hingga kini belum terungkap secara pasti. Hanya saja berdasarkan perkiraan yang dilandasi data emperik dan komparasi dari hasil-hasil temuan penelitian yang dilaksanakan para ahli purbakala, diperkirakan keramik mulai dibuat dan digunakan sejak tahun 15.000 SM. Sebagai kebudayaan yang sangat tua yaitu sejak manusia mengenal api. Ada pula yang memperkirakan dimulai 12.000 SM. Vincent memperkirakan 10.000 SM dan 5.000 SM (Vincent A. Roy,  1969). Norton menyebutkan sekitar 4.500 SM sudah ada yang membuat pottery dengan baik (Norton, 1960). Ada juga yang memperkirakan 6.000 SM, lihat bentuk keramik masa Neolitik berikut ini  (Art A World History,1989).
Pada tahun 15.000 SM diperkirakan Mesir merupakan negeri produsen keramik yang telah berkembang dengan baik. Pada waktu itu orang Mesir telah membangun rumah dengan menggunakan batu bata, bahkan telah dikenal cara pembakaran kapur untuk bahan bangunan. Sedangkan penggunaan barang-barang pecah belah berglasir dengan warna yang indah sebagai peralatan rumah tangga dan bahan bangunan, diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 12.000 SM. Kemudian dari Mesir penggunaan barang-barang keramik tersebut semakin merebak meluas ke daerah-daerah lain, seperti ke utara dan barat melalui kepulauan Siprus dan Kreta menyebar ke Yunani. Ke timur melalui Mesopotamia dan Persia ke China, ke Eropa melalui Afrika Utara dan kira-kira pada abad VIII telah sampai di Spanyol, abad XV sampai di Itali, abad XVI sampai di Perancis dan Belanda. Pada abad XV di Jerman telah dikembangkan pabrik batu keramik (stoneware). Penggunaan keramik secara massal dilakukan pertama kali oleh bangsa Rumania. Kapur bakar perekat (semen) oleh orang Rumania dicampur dengan benda halus dari letusan gunung berapi ternyata dapat menghasilkan bahan jauh lebih keras untuk bangunan. Dari Inggris pembuatan keramik berkembang ke Amerika dan sejak itulah diusahakan pengembangannya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sehingga menghasilkan produk-produk / bahan yang sangat berkualitas dan bermanfaat pada masa kini yang dikenal dengan istilahkeramik baru” (Hanover, 1925).
            Khusus keramik putih yang bermutu tinggi (porcelain) mengalami perkembangan secara sempurna di dataran China. Kemudian lebih kurang pada abad XV pengetahuan tersebut dibawa ke Eropa oleh Marcopolo. Di Eropa yang pertama kali dapat memproduksi keramik jenis porcelain dengan baik adalah seorang berkebangsaan Jerman yaitu Johnn Friedrich Bottger (1682-1719). Bottger yang bekerja pada istana Augustus, Kepala negara Saxon dan Raja Polandia, berhasil menyusun porselin keras yang asli. Hasil penemuannya disebut Porcelain Moistener. Dicatatnya penemuan ini pada jam lima sore, 15 Januari 1708 ( Herman, 1984). 
  •   SEJARAH TRADISI KERAMIK INDONESIA
            Mengetahui hasil-hasil keramik masa lalu dirasakan perlu dan penting, terutama bagi generasi muda untuk dapat mempelajari dan mengembangkannya serta dapat menghargai hasil budaya sendiri.  Sejarah keramik masa lalu sangat sedikit dibahas dan diteliti, karena apresiasi dan minat akan hal itu sangat minim atau langka. Disamping itu literatur keramik kuno Indonesia yang ditulis juga sangat terbatas. Untuk itulah, penulis beranggapan bahwa diperlukan suatu tinjauan keramik kuno yang ada di Indonesia dengan metode eksploratif, yaitu menggali secara mendalam tentang keramik masa lalu dengan mendaras data-data yang ada dan dianalisis secara kualitatif.
               Sesungguhnya kepandaian membuat benda tanah liat atau keramik di Indonesia sudah cukup tua umurnya, yaitu sejak zaman Pra-sejarah. Kemampuan membuat kerajinan ini berlangsung terus hingga memasuki zaman kerajaan Hindu dan Budha. Selanjutnya sampai zaman kerajaan Islam dan zaman Penjajahan. Dalam tulisan ini diungkap kembali hasil-hasil penemuan keramik Pra-sejarah, keramik masa kerajaan Hindu, Budha, Islam dan masa penjajahan Belanda dan Jepang serta hasil penemuan keramik asing yang ditemukan di Indonesia. Dan sejarah keramik di masa kemerdekaan.
  • PRA SEJARAH INDONESIA 

                Kepandaian membuat keramik di Indonesia sebenarnya sudah tua umurnya, sebagaimana halnya sejarah keramik diberbagai belahan Dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa adanya pengaruh hubungan kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik dapat dikatakan setua manusia mengenal api dan dapat memanfaatkannya.
                  Penemuan teknik membuat keramik atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif pada zaman Pra-sejarah. Ralph Mayer dalam bukunya A Dictionary of Art Term and Techniques, menyatakan bahwa kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969). Awal  mulanya keramik  dibuat cenderung sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan wadah tersebut berasal  dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti  labu, kelapa dan sebagainya, yang isinya dikeluarkan. Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun pisang daun talas dan lainnya. Cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah basah yang digenangi air hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk dimusnahkan. Namun yang terjadi keranjangnya musnah, sedang tanah pelapis masih tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang. Dari pengalaman-pengalaman itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah dan untuk keperluan religi lainnya.
                   Dengan diketemukan tanah yang mengeras ini, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan  unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan secara sengaja, yaitu menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang bertekstur / bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar. G. Nelson, dalam bukunya yang berjudul Ceramics menulis bahwa suatu kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman (Nelson, 1960). Dengan demikian , jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan sekaligus sebagai benda estetis.
                   Di Indonesia, keramik jenis gerabah dikenal sejak zaman Pra-sejarah atau zaman Neolitikum, yaitu pada tahun 3.000 sebelum Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yang menetap, hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, diantaranya adalah tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yang dibuat dari gerabah (tanah liat).
                   Para pemuka masyarakat / pemimpin, kemudian sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dimana orang yang dihormati dan dipercaya tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan sampai meninggalpun tatap dapat mempengaruhi manusia yang masih hidup. Muncullah suatu bentuk kepercayaan  penghormatan kepada nenek-moyang, sebagai penghormatan maka dibuatlah  perlambangan-perlambangan dan pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah nenek moyang mereka. Penyertaan benda kubur  seperti patung kecil (figurin), manik-manik serta tempat makanan dan minuman merupakan bentuk penghormatan leluhur sebagai bekal dalam perjalanan ke alam baka. Peruk kecil berisi perhiasan dan periuk besar berisi tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat di zaman Pra-sejarah.

    •   PENEMUAN KERAMIK
  •             Diantara Langsa di Aceh dan Medan, di pantai timur laut Sumatera, yaitu di Bukit Kulit Kerang, telah diketemukan berupa pecahan-pecahan periuk belanga. Pecahan gerabah tersebut sangat kecil, sehingga sulit diketahui bentuk atau wujud semula. Yang diketahui ada yang berhias dan ada yang polos. Hiasan yang tampak pada penemuan itu adalah berupa goresan atau bekas teraan benda keras, disamping itu ada motif bujur sangkar atau relief dan lain-lainnya. Kebudayaan kulit kerang di zaman Mesolitikum dikenal sebagai kebudayaan “ Kjokkenmoddinger”. Rupanya bentuk kebudayaan kulit kerang ini bertahan lama, sedangkan ditempat lain pada waktu yang sama telah dimulai masa Neolitikum.
           Lain halnya dengan Van Es, Ia menemukan pecahan-pecahan gerabah di deretan bukit pasir tua di antara pesisir  selatan Yogyakarta dan Pacitan, menurutnya berasal dari masa Neolitik. Adapun pecahan-pecahan gerabah itu, banyak berupa hiasan anyaman dan hiasan tali atau meander. Juga di pantai selatan pulau Jawa juga ditemukan pecahan-pecahan gerabah dengan hiasan kain (tekstil). Dari hasil penemuan tersebut, kiranya pada masa Neolitikum di Indonesia sudah ada suatu kemampuan untuk mengungkapkan perasaan estetis yang diterapkan pada benda pakai keperluan sehari-hari. Benda gerabah dihias semata-mata agar benda tersebut lebih menarik saja dan akrab dengan si pemakai, tidak ada pretensi lain.
          Gerabah yang diselidiki oleh L. Onvlee, ditemukan di kuburan di Melolo (Sumba), mempunyai sifat yang lain lagi. Di dalam buyung (periuk-belanga) yang ditemukan terdapat banyak tulang-belulang dan tengkorak manusia. Selain itu terdapat benda kubur semacam guci atau kendi berukuran kecil, dimana leher dan kepala kendi  berbentuk kepala manusia, terkadang dihiasi gambar wajah-wajah. Pada badan kendi dihiasi dengan garis-garis yang silang-menyilang atau segi tiga, yang digores ketika tanah liat masih basah sebelum dibakar. Guci semacam kendi tersebut ada kalanya berisi kulit kerang atau semcam perlambangan untuk makanan dan minuman sebagai bekal arwah nenek moyang.
    Tradisi penguburan jenazah dengan tempayan, ditemukan tersebar di berbagai tempat di Indonesia, seperti di Anyer (Jawa Barat), Sa’bang (Sulawesi Selatan), Roti (Nusa Tenggara Timur) dan Gilimanuk, Bali  ( Kempers, 1960 & Utomo, 1995).

    Keramik untuk kebutuhan rumah tangga terutama tempat makanan dan minuman masa Pra-sejarah, dibuat sangat sederhana dan kebanyakan dengan teknik tatap batu atau kayu, tanpa hiasan atau polos. Kendi, periuk, piring yang semuanya dari gerabah ada yang polos dan ada yang dihias. Berbagai fragmen gerabah ditemukan di Gilimanuk, Bali, dengan berbagai hiasan seperti tali, kulit kerang , hiasan jaring-jaring dan lainnya.
    Bersamaan dengan masa Megalitikum dan Perunggu, gerabah dibutuhkan sebagai sarana pemujaan arwah nenek moyang, selain sebagai peralatan rumah tangga. Benda kubur berupa tempayan gerabah, manik-manik perunggu, sarkofagus batu, telah menjadi kebutuhan relegi dan perlambangan pemujaan arwah yang berkembang. Benda-benda gerabah sudah banyak  yang diberi hiasan, seperti ditemukan di Gilimanuk, di pantai Cekik oleh R.P. Soejono, yang berhias tali dan jaring dengan teknik cap. Pada masa tersebut, kemahiran teknik membuat barang-barang perunggu berkembang. Juga saat itu seni hias menghias mencapai puncaknya yaitu dengan pola geometrik atau tumpal. Masa kemahiran teknik ini kemudian dikenal sebagai masa “Perundagian
            Benda purbakala yang ditemukan di daerah Nanga Belang di Kabupaten Kapuas Hulu dan di Kabupaten Sintang (Kalimantan), semuanya diperkirakan dari masa Neolitikum. Selain terdapat kapak batu, juga terdapat pecahan periuk – belanga. Peninggalan gerabah Pra-sejarah juga ditemukan di daerah Serpong di Tanggerang, Banyuwangi, Kalapadua di Bogor, Gelumpang di Sulawesi dan di Minahasa yang juga di Sulawesi, tidak berbeda dengan penemuan di daerah lain, menggunakan teknik sederhana dengan hiasan yang juga mirip. Pecahan gerabah dengan hiasan anyaman juga terdapat di daerah Gelumpang, Sulawesi. Aspek – aspek  teknis zaman Pra – sejarah tidaklah menunjukkan suatu perkembangan yang berarti. Yang perlu diketahui yaitu penggunaan alat pelarik sudah mulai dikenal ketika akan memasuki masa Sejarah.  Sebelumnya dikenal teknik tatap batu / kayu serta pembuatan langsung dengan tangan yang disebut teknik “pinching” atau tekan jari serta teknik “coilling” atau pilin atau teknik “tali”. Aspek lainnya adalah kemampuan untuk menghias dengan teknik cap dan torehan yang tumbuh secara alamiah.

     
* SIFAT KERAMIK


Sifat yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis keramik adalah britle atau rapuh, hal ini dapat kita lihat pada keramik jenis tradisional seperti barang pecah belah, gelas, kendi, gerabah dan sebagainya, coba jatuhkan piring yang terbuat dari keramik bandingkan dengan piring dari logam, pasti keramik mudah pecah, walaupun sifat ini tidak berlaku pada jenis keramik tertentu, terutama jenis keramik hasil sintering, dan campuran sintering antara keramik dengan logam. sifat lainya adalah tahan suhu tinggi, sebagai contoh keramik tradisional yang terdiri dari tanah liat, flint, dan feldspar tahan sampai dengan suhu 1200 C, keramik hasil rekayasa seperti keramik oksida mampu tahan sampai dengan suhu 2000 C. Kekuatan tekan tinggi merupakan sifat yang membuat penelitian tentang keramik terus berkembang.

* KLASIFIKASI KERAMIK
 
Pada prinsipnya keramik terbagi atas:


- Keramik tradisional


Keramik tradisional yaitu keramik yang dibuat dengan menggunakan bahan alam, seperti kuarsa, kaolin, dll. Yang termasuk keramik ini adalah: barang pecah belah (dinnerware), keperluan rumah tangga (tile, bricks), dan untuk industri (refractory).

- Keramik halus

Fine ceramics (keramik modern atau biasa disebut keramik teknik, advanced ceramic, engineering ceramic, techical ceramic) adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan oksida-oksida logam atau logam, seperti: oksida logam (Al2O3, ZrO2, MgO,dll). Penggunaannya: elemen pemanas, semikonduktor, komponen turbin, dan pada bidang medis. (Joelianingsih, 2004)


Proses Pembuatan Ceramic



Bermacam-macam koleksi kami dapat  dilihat seperti teko,cangkir,mangkok,guci,patung gambelan,patung beraneka jenis binatang,dan lainnya dapat dilihat langsung diworkshop kami, sekaligus menyaksikan proses pembuatannya.Bila diperlukan english speaking guide siap membantu memberikan informasi kepada tamu anda.

Secara singkat proses pembuatannya dapat dilihat pada gambar berikut ini :



1. Pertama – tama tanah disisir, diaduk kemudian dimasukan ke mesin pugmill untuk mendapatkan tanah dengan kepadatan dan keplastisan tertentu    serta terbebas dari gelembung udara.
2. Tanah yang keluar dari mesin pugmill siap untuk di bentuk di atas electric wheels, sesuai dengan bentuk yang diinginkan seperti: teapot, bowl, plate, cup,vase, dll.
3. Barang yang sudah dibentuk, setelah dikeringkan 1(satu) hari dilanjutkan proses triming, yaitu membuat ketebalan barang merata sehingga serasi dengan bentuknya.
4. Barang setelah ditriming dilanjutkan dengan proses dekorasi yaitu , proses memberikan ornament berupa ukiran atau ditempel dengan ornamen berbentuk binatang seperti:  kodok, cecak,bunga, dll. Tahapan ini adalah sangat penting untuk menampilkan keramik dengan nilai seni.
5. Setelah tahap dekorasi barang dikeringkan dengan proses pengasapan
atau dijemur di bawah sinar matahari.

6. Barang – barang yang telah kering dihaluskan menggunakan gabus spon yang basah untuk membersihkan dari sisa – sisa goresan maupun sisa-sisa trim yang masih menempel di body barang..Setelah itu barang yang sudah halus lalu dimasukan ke dalam tungku. Pembakaran dilakukan dalam 2(dua) tahap yaitu pembakaran pertama disebut biscuit firing dibakar dalam suhu 8500 C.

7. Setelah pembakaran biscuit  lalu barang – barang dikeluarkan dari tungku kemudian dilakulan proses glasir yaitu, barang dicelup dalam larutan dengan komposisi tertentu, kemudian dilakukan      pembakaran kedua yaitu pembakaran galsir 12500  C.
8.Setelah pembakaran glasir, barang dikeluarkan dari tungku disortir oleh bagian Quality control kemudian dipacking dan selanjutnya dikirim ke pelanggan.